NYEPI MENYERUKAN PERDAMAIAN

Oleh: I Gusti Bagus Arjana
Guru Besar Geografi Lingkungan,
Dosen Program Pascasarjana dan FKIP, Undana

 

Umat Hindu tanggal 5 Maret 2011 kembali merayakan Hari Raya Nyepi, sebagai tanda memasuki Tahun Baru Saka 1933. Kehadiran Nyepi sebagai tahun baru keagamaan menambah indahnya kebhinekaan bangsa ini.
Sungguh indah bumi kita yang hanya satu ini, diberikan berbagai anugerah besar oleh Tuhan Yang Mahakuasa. Diciptakan bumi dengan segala  isinya, dengan segala unsurnya, termasuk mahluk hidup dan tentu juga manusia. Berbagai agama juga diciptakanNYA, di pinggir barat benua Asia lahir agama-agama Kristen, Katholik, Islam, Yahudi dengan sekte-sekte/aliran yang beragam pula. DI pinggir selatan lahir agama-agama Hindu, Budha dan Sikh, dengan segala aliran dan sekte. Di pinggir timur ada agama Konghucu, Sinto dan Tao juga dengan berbagai alirannya. Setiap agama memiliki hari raya/penting berdasarkan perhitungan masing-masing, termasuk pergantian tahun.
Cikal Bakal Hari Nyepi
Menurut Nyoman S. Pendit (1984), dalam buku : NYEPI HARI KEBANGKITAN DAN TOLERANSI, mengungkap sejarah  cikal bakal munculnya Hari Raya Nyepi. Dikemukakan bahwa beberapa abad terakhir sebelum Masehi, dataran antara Tibet, Asia Tengah, Persia, Dataran Hulu dan lembah Sungai Sindu, Afganistan, Pakistan, Kashmir, India Barat Laut dihuni penduduk multi ras/etnik, yakni bangsa-bangsa Scytia (Saka), Parthia (Pahlava), Yuech Chi (Cina), Yavana (Yunani) dan Malava (India). Dalam perjalanan sejarah yang panjang kehidupan bangsa–bangsa itu ternyata diwarnai oleh permusuhan, peperangan, anarkhisme, agitasi, aneksasi,  bahkan terjadi genosida. Penyebab konflik-konflik itu adalah saling berebut kekuasaan, wilayah dan ekspansi daerah jajahan untuk dapat menguasai wilayah-wilayah baru yang subur.
Dalam kurun waktu panjang pergulatan antar bangsa itu tersebutlah Maharaja Kaniskha dari Dinasti Kushana yang berasal dari bangsa Yuech Chi. yang mampu mempersatukan dan mendamaikan bangsa-bangsa itu. Termasuk bangsa Saka dan bangsa Pahlava.  Berdamainya bangsa-bangsa ini merupakan momentum yang dapat menciptakan nuansa baru yang harmoni di bawah pimpinan Maharaja Kaniskha, sehingga beliau diangkat menjadi maharaja. Hari penobatan ini kemudian ditetapkan menjadi penanggalan Tahun Saka, yakni tahun 78 sesudah Masehi. Masa kekuasannya berakhir tahun 102 sesudah Masehi. Dua agama besar pada waktu itu adalah agama Hindu dan Budha, yang sebelumnya saling beseteru, bermusuhan akhirnya rujuk di bawah kepemimpinan Maharaja Kaniskha, pusat kerajaan di Purusapura. Kehidupan yang pluralis dari aspek etnik/ras dan religi yang dicirikan oleh permusuhan yang masif  akhirnya berubah dan tercipta kerukunan dan kehidupan damai yang solid. Hari penobatan itulah diperingati sebagai hari raya Nyepi yang jatuh setiap bulan Maret.
Pentingnya Seruan Perdamaian
Konflik, bermusuhan bahkan perang selalu mewarnai  kehidupan manusia. Kasus Cikeusik yang merupakan konflik internal dan kasus Temanggung yang merupakan konflik eksterna/inter agama merupakan bukti bahwa konflik dan permusuhan tetap merupakan tantangan, kebinekaan Indonesia kembali tercabik-cabik, toleransi telah memudar.


    Seruan untuk menciptakan, merawat kedamaian dan memupuk rasa persaudaraan menjadi kepentingan bersama. Di saat hari Nyepi (the Silent Day) yang benar- benar sepi, sunyi, saatnya merefleksi diri untuk  mereview perjalanan kehidupan, dikenal sebagai Tri Semaya, tiga wawasan dalam dimensi waktu, yakni Atita, wawasan masa lalu, Wartamana , wawasan masa kini dan Nagata, wawasan masa datang. Intinya adalah menegakkan dharma atau kebajikan dan menjauhkan diri dari adharma kegelapan/ kesesatan. Saatnya ini pula untuk meneguhkan kembali tujuan agama Hindu yakni Moksartham jagadhita ya ca iti dharma, untuk mencapai moksa, kebahagiaan rohani dan mendapatkan jagadhita, kesejahteraan duniawi. Perkuat kembali Tri hita karana, tiga penyebab kebahagiaan, yakni Parahyangan,  memelihara keharmonisan hidup melalui bhakti kepada Tuhan (Brahman). Pawongan, menjaga keharmonisan hidup dengan sesama, dan Palemahan, menjaga keharmonisan hidup  bersahabat dan ramah terhadap lingkungan hidup kita.  Di samping itu persaudaraan sejati, cinta kasih dengan sesama melalui ajaran fundamental  Tat twam asi. Inilah hakikat hidup yang digali melalui refleksi,  Nyepi bermakna menyerukan perdamaian. Panjatkan doa dan tutuplah doa itu dengan ucapan Om Santhi, Santhi, Santi (damai, damai, damai) yang  bermakna agar Tuhan (Brahman/Sang Hyang Widhi Wasa), menciptakan  kedamaian bagi umat manusia, damai di hati, damai di dunia dan damai selamanya. “SELAMAT HARI RAYA NYEPI TAHUN BARU SAKA 1933”.