NYEPI, TOLERANSI DAN EARTH HOUR
Oleh: I Gusti Bagus Arjana

Tema ini nampak relevan dengan kondisi berbangsa saat ini di mana toleransi yang menjadi nafas kerukunan intra dan inter agama di tanah air menghadapi ancaman. Di sisi lain, ancaman itu adalah global climate change   telah direspon oleh warga dunia melalui kampanye Earth Hour, tahun ini  digelar dalam bulan Maret ini.

Histori Nyepi
Penuturan Nyoman S. Pendit (1984), dalam buku: NYEPI HARI KEBANGKITAN DAN TOLERANSI,  secara gamblang memaparkan tentang sejarah  cikal bakal munculnya Hari Raya Nyepi. Dikemukakan bahwa beberapa abad terakhir sebelum Masehi, dataran antara Tibet, Asia Tengah, Persia, Dataran Hulu dan lembah Sungai Sindu, Afganistan, Pakistan, Kashmir, India Barat Laut dihuni penduduk multi ras/etnik, yakni bangsa-bangsa Scytia (Saka), Parthia (Pahlava), Yuech Chi (Cina), Yavana (Yunani) dan Malava (India). Dalam perjalanan sejarah yang panjang kehidupan bangsa–bangsa itu ternyata diwarnai oleh anarkhisme, agitasi, aneksasi, peperangan,  bahkan terjadi genosida  yang menyebabkan kehidupan terus bermusuhan dan prinsip co existence tidak terwujud, kedamaian menjadi barang mahal. Penyebab konflik-konflik itu adalah saling berebut kekuasaan, wilayah dan ekspansi daerah jajahan untuk dapat menguasai wilayah-wilayah baru yang subur.
Tahun 284 Sebelum Masehi, diungkapkan bangsa Pahlava unggul melawan bangsa Yavana dan bangsa Saka. Tahun 128 Sebelum Masehi bangsa Saka yang masih eksis membuat strategi menyebar dan membentuk kerajaan-kerajan kecil atau kshatrapa, sehingga dapat juga menguasai wilayah yang subur. Di sisi lain bangsa Saka mengalami tekanan dari bangsa Yuech Chi, sehingga menyusup ke wilayah selatan di lembah sungai Kafiristan dan Badhaksan. Wilayah Timur dikuasai bangsa Pahlava.  Waktu terus berjalan,  bangsa Pahlava akhirnya mengakui  keunggulan bangsa Saka, sehingga lembah sungai Sindhu dapat dikuasai.
Dalam kurun waktu panjang pergulatan antar bangsa itu tersebutlah Maharaja Kaniskha dari Dinasti Kushana berasal dari bangsa Yuech Chi yang mau berintegrasi dengan bangsa Saka dan bangsa Pahlava.  Bergabungnya ketiga bangsa ini merupakan momentum yang dapat menciptakan nuansa baru yang harmoni di bawah pimpinan Maharaja Kaniskha. Hari penobatan ini kemudian ditetapkan menjadi penanggalan Tahun Saka, yakni tahun 78 sesudah Masehi. Masa kekuasannya berakhir tahun 102 sesudah Masehi. Dua agama besar pada waktu itu adalah agama Hindu dan Budha, yang sebelumnya saling beseteru, bermusuhan akhirnya rujuk di bawah kepemimpinan Maharaja Kaniskha, pusat kerajaan di Purusapura. Kehidupan yang pluralis dari aspek etnik/ras dan religi yang dicirikan oleh permusuhan yang masif namun akhirnya berubah dan tercipta kerukunan dan kehidupan damai yang solid.


Semangat Toleransi
    Kehidupan manusia tidak terlepas dari berbagai perbedaan, karena perbedaan membentuk keragaman, keragaman sesungguhnya  mewujudkan keindahan. Perbedaan kadang disikapi antipati,  perbedaan dipandang sebagai kenaifan. Ada yang memandang  unsur-unsur pembeda itu salah, prinsip sempit seperti itu akhirnya dapat menjadi pemicu konflik, kerusuhan dan bahkan tragedi yang mengancam nilai-nilai kemanusiaan.
Dalam konteks mempersepsi perbedaan yang dapat saja memicu konflik dan tindakan anarkhis, umat Hindu meyakini beberapa ajaran yang esensial, untuk mengembangkan sikap toleransi atau solidaritas dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa yang pluraristik. Ajaran itu antara lain adalah Tat Twam Asi dan Tri Hita Karana, untuk mengembangkan toleransi dan solidaritas antar individu, kelompok, religi, bahkan solidaritas antar bangsa. Tat twam asi, mengembangkan sikap persaudaraan sejati yang setara, kesetaraan yang bersifat universal  meyakini secara mutlak bahwa semua mahluk ciptaan Tuhan. Tri Hita Karana, tri = tiga, karana = sumber/ penyebab, hita = kebahagiaan. Ada tiga esensi kehidupan manusia untuk dapat hidup bahagia dan sejahtera di dunia. Ketiga sumber/penyebab merupakan dimensi hakiki yang mencerminkan keterhubungan (connectedness) kehidupan manusia, yakni manusia  dengan Tuhan (parahyangan), manusia  dengan sesama (pawongan) dan manusia dengan lingkungan (palemahan).
Earth Hour
    Sejak dua tahun lalu WWF memprakarsai Earth Hour 60 menit, sebuah kampanye berupa gerakan memadamkan lampu selama satu jam untuk membiasakan gaya hidup hemat energi melalui pemadaman lampu. Ketika dimulai tahun 2008 (Kompas 31/3/2008), memberitakan 26 kota besar di seluruh dunia mengikuti kampanye Earth Hour ini, yang dimulai di Sidney. Waktu satu jam lampu padam memberi kontribusi terhadap penghematan penggunaan bahan bakar fosil. Kompas (14/2/2011) membuat ilustrasi jika 10 persen penduduk DKI Jakarta sekitar 700 000 mematikan dua buah lampu selama sejam akan dihemat 300 megawat, emisi yang tidak terlepas sekitar 267 ton. Luar biasa memang dampak gerakan ini dalam menumbuhkan gaya hidup hemat energi, kuncinya adalah kemauan untuk memadamkan lampu yang memang nyalanya  tidak dibutuhkan.
    Umat Hindu dalam rangka Hari Raya Nyepi tahun Saka 1933,  tahun ini jatuh pada hari Sabtu tanggal 5 Maret 2011. Ada empat pantangan yang sudah menradisi dalam memperingati Nyepi yang dikenal sebagai Catur Berata Penyepian, yakni amati lelungaan, tidak bepergian, jadi harus tetap tinggal di rumah, biasa diisi dengan kegiatan spiritual kerohanian.  Amati karya, tidak melakukan aktivitas/kerja. Amati lelanguan, tidak menyelenggarakan hiburan, pesta fora.  Amati geni, tidak menyalakan api/lampu, selama 24 jam (satu hari).  Pulau Bali saat itu karena mayoritas penduduknya merayakan Nyepi tentu pantangan amati geni yang ditandai dengan pemadaman lampu  secara total. Inilah gerakan kampanye Earth Hour model Bali.  Penghematan energi dalam rangka hari Nyepi, berupa pemadaman lampu, penghentian kerja dan pabrik-pabrik dan terhentinya transportasi darat, laut dan udara tentu akan menghentikan pelepasan emisi karbon dioksida. Fenomena ini memang menarik untuk dikaji, khusunya pulau Bali yang pada saat itu benar-benar gelap gulita, sepi dari hiruk pikuk deru mesin motor, mobil dan mesin-mesin pabrik.
Rangkaian Nyepi ini sudah menjadi tradisi ratusan tahun. Melalui Nyepi diilhami ajaran yang esensial dapat mengumandangkan perdamaian, memupuk dan mengembangkan semangat toleransi/solidaritas antar sesama dan kesadaran untuk menghemat energi. Setiap orang Hindu ketika berdoa, selalu ditutup dengan Om Santhi (3 kali), yang bermakna kiranya Tuhan menganugerahkan kedamaian, damai di hati, damai di dunia dan damai selamanya. Selamat merayakan Nyepi, panjatkan doa dan tutup dengan Santhi tiga kali untuk ikut mewujudkan kedamaian di bumi Nusantara. Semoga.

(I Gusti Bagus Arjana, Guru Besar Geografi Lingkungan, Universitas Nusa Cendana, Kupang).